Orang Dayak Ngaju mempunyai “sejarah sendiri” mengenai kontrak politik Pangeran Samudera, yaitu ketika munculnya desas-desus dikonversikannya Diang Lawai istri dari Marhum Panembahan , yang sesungguhnya adalah orang Dayak Ngaju beragama kaharingan. Hal itu membangkitkan kemarahan para sanak saudara Diang Lawai yang berujung pada meletusnya peperangan, seperti yang dilaporkan oleh Becker (1849:461) bahwa mulai pada sekitar tahun 1550 telah terjadi peperangan antara Dayak Ngaju dan Banjar yang berlangsung kurang lebih 20 tahun lamanya.
Hermogenes Ugang ( 1987:202), setelah melakukan studi atas manuskrip-manuskrip yang terdapat di Zurich dan Leiden, mengatakan bahwa issue pengislaman Nyai Diang Lawai itu ternyata tidak benar. Sebenarnya perang itu terjadi karena
salah paham dipihak orang Dayak Ngaju yang menyangka bahwa Raja Maruhum telah melanggar perjanjian pada waktu menikahi
Nyai Diang Lawai yaitu Nyai Diang Lawai tidak boleh disunat seperti yang biasa dilakukan di kalangan orang Islam pada zaman itu. Kesalahpahaman itu terjadi karena adanya berita bahwa Nyai Diang Lawai menderita sakit akibat disunat oleh raja. Padahal yang terjadi sebenarnya adalah Nyai Diang Lawai mengalami sedikit tidak enak badan karena mulai hamil muda.
Perang karena kesalahpahaman dan sentimen agama ini sangat membekas dalam ingatan orang Dayak Ngaju. Ia menjadi ingatan kolektif yang diabadikan dalam bahasa (idiomatic expresion) dan mitos asal-usul (Panaturan). Pada masa kini, orang-orang Ngaju di pedesaan menyebut zaman lampau atau masa lalu dengan istilah Zaman Raja Maruhum Usang. Bahkan dalam sastra suci orang Dayak Ngaju yang dikenal dengan istilah Panaturan disebutkan bahwa Raja Marhum, dengan sebutan Raja Helu Maruhum Usang, dan Nyai Siti Diang Lawai, merupakan bagian dari leluhur atau nenek moyang orang Dayak Ngaju, yang setelah mereka
meninggal dunia menjadi Sangiang (manusia ilahi) dan berdiam di salah satu bagian dari Lewu Sangiang (perkampungan para dewa) yang bernama Lewu Tambak Raja. Karena Raja Maruhum adalah seorang Muslim maka di “sorga” atau perkampungan para dewa itu disebutkan ada mesjid (lih. Panaturan, Majelis Besar Agama Hindu Kaharingan, Palangka Raya 1992: 229, bdk. Nila Riwut 2003: 530, Majelis Besar Alim Ulama Kaharingan Indonesia 1972:33-42).
Berdasarkan data-data di atas muncul satu pertanyaan “Siapa Pangeran Marhum ini?”
Baca entri selengkapnya »